“Tantangan untuk edge computing di Indonesia ini, saya lihat ada dua yang major yaitu dari segi infrastruktur dan cybersecurity,” kata Stephanus di acara Virtus Showcase 2022 “Edge of Distributed Enterprise: Embracing the Next Digital Wave” di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Sega – Microsoft eksplorasi penggunaan “cloud” untuk game
Dari segi infrastruktur, menurut Stephanus, kesiapan edge data center yang handal serta infrastruktur jaringan yang baik menjadi faktor penting untuk memastikan uptime dan kelangsungan bisnis.
Sedangkan dari segi keamanan, pelanggan harus memastikan implementasi cybersecurity seperti SASE (Security Access Service Edge) untuk menjaga hubungan yang aman antara aplikasi dan endpoint-nya.
“Dengan mengimplementasi edge device atau edge computing, multiple point of entry-nya akan makin banyak sehingga potensi untuk cyber attack, potensi hacking, itu akan sangat banyak. Makanya dengan penggunaan seperti zero-trust security principle, itu menjadi hal yang mungkin kita patut pelajari,” ujar Stephanus.
Sebagai informasi, edge computing merupakan sistem komputasi yang dilakukan sedekat mungkin dari sumber data. Pengimplementasian teknologi ini dinilai mampu memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi perusahaan dalam penerapan remote working, akses produk dan layanan yang lebih terdistribusi, hingga konsumsi media yang tidak terbatas terutama akibat pandemi COVID-19.
Namun, menurut Stephanus, implementasi edge computing di Indonesia saat ini bisa dikatakan masih dalam tahap dini karena pelanggan masih mencari tahu lebih dalam terkait use case yang dapat mereka gunakan. Meski demikian, beberapa industri sudah mulai mengimplementasikan teknologi tersebut, salah satunya industri gaming.
“Bisa kita lihat contohnya di industri gaming yang memanfaatkan edge untuk memberikan user experience dan latensi yang terbaik karena perusahaan gaming harus mendekatkan dirinya ke pengguna mereka,” imbuh Stephanus.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi tren ke depan agar bisa masuk ke edge computing, Direktur Virtus Christian Atmadjaja menambahkan perusahaan harus menyadari bahwa pemicu mengapa edge computing diperlukan adalah karena adanya ledakan data dan tingginya jumlah perangkat yang terhubung dengan jaringan.
“Dua pendorong ini yang membuat bahwa bisa dibilang kemampuan IT untuk memproses itu kalah cepat dengan jumlah ledakan data. Sehingga, kalau semua mau diproses di data center, bisa jadi kalah cepat. Padahal data kan mesti di transfer ke data center, diolah, dianalisa, kemudian dikirim ke edge-nya lagi atau ke end user-nya. Itu mungkin akan takes time,” ujar Christian.
“Itulah mengapa timbul teknologi edge computing di mana data yang relevan untuk lokasi tersebut, ya sudah datanya di-collect di sana, diproses di sana, di-generate di sana, dan di-consume di sana,” imbuhnya.
Baca juga: Virtus Showcase 2022 bahas “distributed enterprise” & “edge computing”
Baca juga: “Edge computing” diprediksi akan segera digunakan di berbagai sektor
Baca juga: “Fortnite” kembali ke iOS dan Android lewat Xbox Cloud Gaming
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2022
Sumber Antara